Sabtu, 27 November 2010

Mengulas Mengenai BRC (Biological Resource Center)

Institusi BRC adalah suatu institusi yang menyimpan, memberikan pelayanan, menyediakan informasi mengenai sel hidup, genom dari organisme, dan informasi lain yang terkait dengan hereditas dan sistem biologi suatu organisme. Oleh karena itu, komponen penunjang BRC adalah koleksi organisme yang bisa dikultur (mikroba, tumbuhan, hewan dan sel manusia), dan bagian-bagian organ yang masih bisa direplikasi atau diperbanyak (genom, plasmid, virus, cDNA), termasuk database yang memiliki informasi molekular, fisiologi, kandungan bahan aktif, dan informasi lain yang
berhubungan dengan organisme yang disimpan. Perkembangan BRC yang terkait dengan pemanfaatan mikroba tidak akan terlepas dari culture collection (kultur koleksi). Sehubungan itu, perlu kiranya disampaikan ulasan tentang BRC dan kultur koleksi, fungsi, dan perkembangannya.

Sejarah kultur koleksi telah ada sejak akhir abad ke-19, dan sampai saat ini sebanyak 573 kultur koleksi telah terdaftar pada lembaga World Data Centre for Microorganisms (WDCM) (http://wdcm.org). Fungsi utamanya selain untuk memenuhi persyaratan yang telah dibuat dan disetujui dalam the Convention on Biological Diversity (CBD), juga meliputi: 1. Konservasi ex-situ mahluk hidup; 2. Pemelihara sumber daya genetika; 3. Justifikasi untuk memenuhi persyaratan ilmiah suatu organism; 4. Menerima deposit organisme untuk publikasi ilmiah; 5. Pelayanan deposit yang lebih aman.

Dengan menjalankan panduan yang telah dibuat oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), banyak kultur koleksi (terutama milik pemerintah, untuk kepentingan publik) mengembangkan diri menjadi BRC atau institusi yang mampu menyimpan, mengidentifikasi dan memvalidasi sumber daya mikroba beserta informasi-informasi yang terkait secara lebih professional, untuk melegitimasi infromasi bagi para penggunanya. BRC mungkin bisa menjadi mekanisme acuan yang sesuai dalam pemanfaatan sumber daya mikroba tanpa meninggalkan ketersediaan akses dan transparansi informasi,
melibatkan semua regulasi nasional/internasional dan hak-hak dari pihak yang terkait sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam CBD. Para ilmuwan (terutama taksonomis) didorong untuk menyimpan isolat mikroba mereka pada BRC publik, sehingga nilai BRC dalam mendukung pengembangan ilmu hayati dan bioteknologi semakin tinggi.

Bentuk dan fungsi kultur koleksi tradisional selalu berubah sesuai dengan kebutuhan komunitas ilmiah dan pemerintah terkait yang memiliki kebijakan. Banyak tipe kultur koleksi, tetapi pada umumnya berfungsi untuk mengkonservasi mikroba dan mendukung ilmu hayati dengan berbagai fungsi tambahan yang lebih spesifik. Masalah yang timbul dari kultur koleksi sekarang ini adalah biaya pemeliharaan dan operasional yang sangat mahal, mencakup biaya teknis, pemeliharaan fasilitas, personel, dan ahli-ahli yang terlibat. Sampai saat ini tidak ada kultur koleksi yang sanggup mendanai aktivitasnya hanya
dengan bersandar kepada penjualan isolat/strain. Dari sekitar 470 koleksi yang tercatat di World Directory, 400 di antaranya dimiliki dan didanai oleh pemerintah setempat. Walaupun peranan pemerintah sangat besar bagi keberadaan suatu kultur koleksi, akan tetapi hal ini sangat riskan bagi kelangsungan hidup suatu kultur koleksi apabila terjadi perubahan kebijakan. Contohnya, pada kurun waktu 2000-2001, 13 kultur koleksi yang disponsori pemerintah berhenti aktivitasnya dan hilang dari daftar World Data Centre for Microorganisms (WDCM) (http://wdcm.nig.ac.jp/statistics2000.htm).

Mengingat sulitnya pendanaan suatu koleksi, kultur koleksi memiliki beban yang berat untuk menjaga kelangsungan operasionalnya (self sustaining). Salah satu solusinya mungkin dengan mengoleksi mikroba secara lebih selektif dengan memberikan prioritas terhadap spesies yang lebih memiliki nilai komersial daripada hanya sekedar mengoleksi dan menyimpan mikroba dari alam tanpa mengetahui nilainya baik secara ilmiah (e.g. ex-type culture) atau komersial. Selektivitas mikroba yang akan disimpan dalam jangka waktu lama jelas akan mengurangi biaya pemeliharaan dan operasional kultur koleksi.
Sayangnya, para pengambil kebijakan model kultur koleksi tradisional masih banyak yang terperangkap ke dalam cara berfikir lama yaitu ‘semakin banya koleksi yang disimpan semakin bagus’.

Kultur koleksi awalnya dibangun tidak secara khusus untuk mengkonservasi semua sumber daya genetik yang ada di bumi, dan diyakini, tidak akan mungkin mampu untuk menyelamatkan semua sumber daya genetik yang ada. Contohnya, sampai saat ini hanya sekitar 90.000-100.000 spesies fungi yang telah teridentifikasi dari total estimasi 1,5 juta spesies, dan hanya 11.500 (kurang dari 1%) yang berhasil disimpan di semua kultur koleksi yang ada. Setiap tahun ada sekitar 1000 spesies baru yang ditemukan dan dikatalog dalam Index of Fungi. Dengan kecepatan seperti ini, semua mikolog yang ada akan
membutuhkan 1400-an tahun untuk menemukan dan mendeskripsi semua spesies fungi, ini tidak termasuk strain dari setiap spesies. Maka, untuk memberikan pengaruh dan hasil yang lebih nyata, prioritas mungin bisa diberikan kepada organisme yang memiliki nilai lebih, misalnya secara ilmiah (ex-type cultures, endemik) ataupun secara komersial (memproduksi enzim atau metabolit tertentu, dan selanjutnya).

Akses internet, tidak bisa dipungkiri, merupakan surga bagi para ilmuwan dalam mendapatkan berbagai macam informasi ilmiah secara cepat dan up to date. Saat ini, banyak kultur koleksi yang menyediakan informasi yang bisa diakses melalui internet, walaupun sistem teks melalui katalog masih lebih ideal digunakan karena faktor keamanan. Sayangnya banyak kultur koleksi tersebut masih belum menyediakan berbagai informasi yang sama pentingya, seperti misalnya teknik isolasi, teknik menumbuhkan, preservasi, dan karakterisasi. Padahal, hal ini dinilai penting untuk menetapkan standar atau frameworks
bagi mikrobiolog dalam hal preservasi dan distribusi mikroorganisme yang mereka isolasi.

CBD telah disetujui di Rio de Janeiro pada tahun 1992, dan sekitar 180 negara telah meratifikasinya. Tujuannya untuk menjaga gene pool dan memungkinkan pemanfaatannya dengan menjamin benefit sharing atau perimbangan hasil yang wajar. Hak terhadap sumber daya genetik diberikan kepada negara asal, dan negara-negara yang terkait wajib memfasilitasi akses terhadap sumber daya genetik tersebut. CBD mensyaratkan pengembangan strategi nasional untuk konservasi dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

BRC diyakini memiliki peranan penting dalam hal ini. CBD mensyaratkan Prior Informed Consent (PIC) diperoleh di negara dimana organisme yang bersangkutan akan dikoleksi sebelum ijin untuk akses diberikan. Perjanjian mengenai benefit sharing harus disetujui di awal sebelum proyek berjalan. Benefit sharing bisa berupa informasi, transfer teknologi, moneter, dan pelatihan SDM. Apabila organisme akan ditransfer kepada pihak ketiga, hal ini harus dilakukan dengan persetujuan negara asal. Proses ini tentu saja akan memerlukan Material Transfer Agreement (MTA) antara pihak pengirim dan penerima
untuk memastikan benefit sharing yang adil dengan negara asal. Banyak BRC telah mengoperasikan perjanjian benefit sharing sejak awal, exchange organism dengan organisme lain yang dideposit, dan memasok kembali pen-deposit dengan strain yang disimpan apabila dibutuhkan. Pengembangan prosedur seperti ini merupakan proses yang bertahap dan setiap pengelola yang terkait harus menyimpan dokumennya di web site, serta merubahnya sesuai perkembangan (http://www.bccm.belspo.be). Oleh karena itu, BRC menawarkan suatu transparansi terhadap implementasi dari CBD.

Mikroba yang baru dan memiliki nilai lebih dan unik (unique properties) telah dimasukkan kedalam aplikasi paten untuk melindungi hak intelektual para peneliti dan institusinya. Sejauh ini, hal tersebut tidak dilarang di dalam CBD, sepanjang negara asal mikroba tersebut mendapatkan equitable benefit sharing. Salah satu syarat utama supaya aplikasi paten yang berkaitan dengan hal seperti ini bisa diberikan adalah dengan menyimpan strain yang akan dipatenkan di International Depository Authority (IDA) di bawah Perjanjian Budapest pada International Recognition of the Deposit of Microorganisms
for the Purposes of Patent Procedure

(http://www.cnpat.com/worldlaw/treaty/budapest_en.htm).

Meningkatnya jumlah penelitian yang melibatkan eksplorasi mikroba yang memiliki nilai bioprospeksi akan menyebabkan semakin banyaknya mikroba yang memiliki potensi baru secara komersial bisa ditemukan, dan secara langsung akan meningkatkan kebutuhan terhadap International Depository Authority (IDA). Untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan di dalam Perjanjian Budapest dan supaya mendapatkan pengakuan dari IDA, maka BRC harus mampu memenuhi kriteria seperti bahwa: 1. Berada di negara yang menandatangani perjanjian; 2. Keberadaan institusi BRC tersebut terjamin; 3. Memiliki staf dan fasilitas
yang menunjang; 4. Netral dan objektif (tidak memihak suatu negara dengan berbagai alasannya); 5. Available terhadap semua depositor yang berkaitan bidang ilmu; 6. Menerima semua jenis organisme, menguji viabilitas-nya, dan menyimpannya dalam jangka waktu lama; 7. Menerbitkan bukti penerimaan dan pernyataan viabilitas; 8. Confidentiality agreement; 9. Melengkapi sampel yang dideposit dengan informasi lain sesuai regulasi yang ditetapkan.

BRC yang moderen tidak hanya berisi koleksi organisme hidup saja, tetapi juga sebagai sumber informasi dan pengetahuan, serta sumber dimana ahli-ahli terkait berada. BRC dapat menambahkan nilai lebih kepada organisme yang disimpan melalui program karakterisasi dan teknik penyimpanan. Beberapa negara ada yang telah menghentikan pembiayaan terhadap operasional BRC nasional mereka, dan hal ini mendorong pengelola BRC untuk mampu meningkatkan selektivitas terhadap organisme yang akan disimpan. Indonesia sebagai negara yang mempunyai megadiversitas akan menjadi lahan empuk bagi negara maju untuk
melakukan eksplorasi sumber daya genetik yang berpotensi secara komersial melalui berbagai cara. Oleh karena itu, penting bagi negara pemilik megadiversitas ini untuk selalu meningkatkan kapasitasnya dalam melindungi sumberdaya genetik yang ada dan memanfaatkannya bagi kepentingan masyarakat. Jangan sampai benefit-nya menjadi milik negara-negara maju, kita dapat sharing-nya saja….semoga tidak terjadi.


Artikel ini ditulis oleh Iman Hidayat : Warta Kita, September 2010
Artikel ini diunggah oleh Pramono pada tanggal 25 Oktober 2010

Penelitian Bersama Indonesia, Australia & Jepang Berhasil Temukan Hewan Spesies Baru "Sarax" di Kalimantan Timur





Hari Nugroho (kanan) Peneliti Puslit Biologi - LIPI


(Kalimantan Timur-Indonesia) Kayanya keanekaragaman hayati Indonesia kini terbukti kembali dengan ditemukannya Kalicemeti jenis baru di gua-gua yang terdapat di Kalimantan Timur, saat penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti Jepang, Australia, dan LIPI Indonesia belum lama ini.

Penelitian yang dipimpin oleh peneliti zoologi LIPI Cahyo Rahmadi, peneliti Australia Dr. M.S. Harvey, dan Dr. J. Kojima dari Jepang ini, berhasil menemukan 4 jenis Sarax atau Kala Cemeti baru. Kalacemeti sendiri merupakan sejenis laba-laba yang biasa hidup di dinding goa. Perbedaan antara Kalacemeti dan laba-laba terletak pada kakinya. Laba-laba memiliki 4 pasang kaki untuk berjalan, sedangkan Kalacemeti 3 pasang kaki untuk berjalan dan 1 pasang kaki di bagian depan yang mirip seperti antena.

Keempat Jenis Kalacemeti yang baru teridentifikasi ini, yaitu Sarax yayukae, Sarax sangkulirangesis, Sarax mardua, dan Sarax cavernicola, yang ditemukan di goa Sangkulirang dan Pegunungan Muller di Kalimantan Tengah dan Timur.

Sarax cavernicola memiliki 3 antena yang ukurannya hampir sama dengan kakinya, tubuh yang cukup besar, dan warna yang pucat. Spesies ini merupakan yang terbesar diantara tiga Kalacemeti lainnya dengan panjang tubuh mencapai 16 mm. Ditemukan di Gua Sangkulirang, Kalimantan Timur.

Kalacemeti kedua, Sarax mardua memiliki panjang sekitar 10 mm, dengan kaki yang memanjang. Yang membedakannya dengan spesies lainnya yaitu antena yang terdapat pada kakinya. Ditemukan di Gua Mardua, dan Sangkulirang, Kalimantan Timur.

Sedangkan Sarax sangkulirangensis, merupakan Kalacemeti dengan ukuran terkecil yaitu sepanjang 9 mm, serta tubuh berwarna kehijauan, dengan ukuran mata yang besar dan kaki pendek. Kalacemeti jantan jenis ini memiliki kaki lebih panjang dibandingkan dengan betinanya. Ditemukan di Gua Sangkulirang, Kalimantan Timur.

Terakhir, Sarax yayukae, memiliki tubuh yang tidak jauh berbeda dengan Sarax sangkulirangensis, hanya saja Sarax yayukae tidak hanya hidup di gua, tapi juga di hutan. Namanya sendiri diambil dari peneliti asal Indonesia DR. Yayuk R. Suhardjono, atas kontribusinya dalam bidang penelitian biologi gua. Ditemukan di Kalimantan Barat dan Pulau Manukan.

Menurut Cahyo, dari seluruh dunia baru 15 jenis Kala Cemeti yang berhasil teridentifikasi, dengan 6 jenis diantaranya terdapat di Indonesia, dan keempat jenis Kalacemeti jenis baru yang belum lama ditemukan ini, terbukti hanya terdapat di goa-goa pulau Kalimantan, Indonesia.

Penelitian ini menghabiskan waktu hampir 6 tahun untuk memastikan bahwa Kalacemeti yang ditemukan merupakan hewan spesies baru. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu tidak ada peneliti khusus spesies laba-laba khususnya jenis Kalacemeti di Indonesia selama 95 tahun terakhir, sehingga informasi mengenai laba-laba dari Indonesia dan Asia Tenggara sangat terbatas. Sedangkan alasan kedua, yaitu dua spesies terakhir yang ditemukan sebelumnya, disimpan di museum Genova, Italia, sehingga para peneliti yang mendapatkan Kalacemeti jenis baru ini, harus melakukan pemeriksaan silang yang menghabiskan waktu
cukup lama.

"Penemuan baru ini tentu saja tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia, tapi juga bagi ilmu pengetahuan dunia. Saya rasa, masih banyak hewan-hewan jenis baru di Indonesia. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk menjelajahi seluruh Indonesia," ujar Kojima. (Nova/JS)


Artikel ini ditulis oleh Nusantara-news : October 14, 2010
Artikel ini diunggah oleh Pramono pada tanggal 19 November 2010

Sabtu, 13 November 2010

Manggis

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/gambar/manggis.jpg
http://www.proseanet.org/florakita/img/0000568.jpg
Magngis (Garcinia mangostana L)


Uraian :
Pohon, selalu hijau, tinggi 6-20 m. Batang tegak, batang pokok jelas, kulit batang coklat, memiliki getah kuning. Daun tunggal, duduk daun berhadapan atau bersilang berhadapan, helaian; mengkilat dipermukaan, permukaan atas hijau gelap permukaan bawah hijau terang, bentuk elips memanjang, 12-23 x 4,5-10 cm, tangkai 1,5-2 cm. Bunga betina 1-3 di ujung batang, susunan menggarpu, garis tengah 5-6 cm. Kelopak daun kelopak, dua daun kelopak yang terluar hijau kuning, 2 yang terdalam lebih kecil, bertepi merah, melengkung kuat, tumpul. Mahkota terdiri dari 4 daun mahkota, bentuk telur terbalik, berdaging tebal, hijau kuning, tepi merah atau hampir semua merah. Benang sari mandul (staminodia) biasanya dalam tukal (kelompok). Bakal buah beruang 4-8, kepala putik berjari-jari 4-6. Buah berbentuk bola tertekan, garis tengah 3,5-7 cm, ungu tua, dengan kepala putik duduk (tetap), kelopak tetap, dinding buah tebal, berdaging, ungu, dengan getah kuning. Biji 1-3,diselimuti oleh selaput biji yang tebal berair, putih, dapat dimakan (termasuk biji yang gagal tumbuh sempurna). Asal usul tidak diketahui. Waktu berbunga Mei - Januari. Tumbuhan ini dapat tumbuh di Jawa pada ketinggian 1-1000 m dpl pada berbagai tipe tanah (pada tanah liat dan lempung yang kaya bahan organik), sering sebagai tanaman buah. lklim yang diperlukan adalah adanya kelembaban dan panas dengan curah hujan yang merata. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji yang telah dikecambahkan terlebih dahulu dalam kantong plastik (segera setelah dikeluarkan dari buah). Kecambah dapat ditanam di lapangan setelah berumur 2 - 3 tahun, dengan jarak tanarn 10 m. Tanaman muda harus dilindungi/dinaungi dan akan berbuah setelah berumur 8-15 tahun. Pohon yang dipupuk akan lebih cepat berbuah. Tingkat keberhasilan perbanyakan dengan metode kultur jaringan turus kuncup ketiak daun menggunakan Indole Butyric Acid (IBA) sangat kecil.


Nama Lokal :
NAMA SIMPLISIA Garciniae mangostanae Cortex fructus; Kulit buah Manggis. Garciniae mangostanae Radix; Akar Manggis. Garciniae mangostanae Folium; Daun Manggis.

Pemanfaatan

Buah digunakan untuk mengobati diare, radang amandel, keputihan, disentri, wasir, borok; di samping itu digunakan sebagai peluruh dahak, dan juga untuk sakit gigi. Kulit buah digunakan untuk mengobati sariawan, disentri, nyeri urat, sembelit. Kulit batang digunakan untuk mengatasi nyeri perut. Akar untuk mengatasi haid yang tidak teratur. Dari segi flavor, buah manggis cukup potensial untuk dibuat sari buah.

Sumber http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=239